Selasa, 10 Januari 2012

PENDIDIKAN HOLISTIK


PENDIDIKAN SETENGAH MELEK
Oleh : Wildatus Sakinah
            Semakin tua usia tanah air Indonesia, pendidikan semakin mengalami keremang-remangan. Sepertinya, tujuan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan hanyalah fiktif belaka. Betapa tidak, makna pendidikan saja memudar tiada akhir. Dalam UU Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan secara spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. UU Sisdiknas begitu perfect. Nampak jelas bahwa mengembangkan Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) merupakan tujuan dari pendidikan. Sayangnya, hal tersebut “sedikit” diabaikan dalam pendidikan di negeri kita. Kita potong saja pasal-pasal yang mempersulit pendidikan, atau Kita realisasikan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas itu yang mudah saja?
            Tidak sedikit para pendidik kita, baik di lembaga formal, informal maupun nonformal melambungkan rasa bangga atas kejeniusan dan kesuperioran (IQ) yang dimiliki anak didik mereka, meski sang anak didik tercerai dari EQ dan SQ. Hal ini merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat ini masih singgah dalam pendidikan kita dan akan siap membunuh dan mematikan makna pendidikan.
            Kebanyakan  program  pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan juga bagaimana mengembangkan kecerdasaan emosi (EQ), seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan lain sebagainya.[1] Tetapi dalam Tripusat pendidikan (lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat) di tanah air kita tetap saja mendewakan IQ yang dimiliki oleh the next generation. Asumsi bahwa IQ adalah number one masih berlaku sampai saat ini.
Keluarga yang menjadi tokoh utama dalam sosialisasi pertama harus mampu menjadi panutan dan motivator bagi anak untuk mengembangkan IQ, EQ dan SQ secara simultan. Tetapi, lazimnya mereka telah merasa “cukup” atau bahkan “sangat” bangga atas prestasi sang anak ketika mendapat nilai dan angka super dalam raport di sekolahnya. Benarkah demikian?
Di samping itu, sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal dan tempat sosialisasi kedua bagi anak didik, juga mengalami penyakit kronis seperti yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Tidak sedikit guru yang patut “digugu dan ditiru” membuang kepedulian terhadap emosional dan rpiritual sang anak didik. Mereka hanya dan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, dan mereka akan merasa bangga atas dirinya ketika sang anak didik mampu mengembangkan ranah kognitifnya (IQ) dengan pesat. Guru adalah pengajar atau pendidik? mengajar dan mendidik menjadi tugas primer bagi guru. Tetapi kebanyakan dari mereka dengan “sengaja atau tidak sengaja” hanya mengajar (transfer ilmu pengetahuan) tanpa mendidik. Mengapa mereka hanya melek setengah mata?
Para pendidik dalam tripusat pendidikan harus mampu mendidik generasi penerus bangsa ini dengan tidak secara parsial (mengutamakan IQ), tetapi harus secara holistik (menumbuhkembangkan IQ, EQ dan SQ secara simultan). Jika mereka mendidik dengan cara setengah melek (mendidik secara parsial), maka output (anak didik) juga akan setengah melek. Selain itu, pendidik juga harus mampu menjalankan prinsip yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karso (jika di tengah membangun prakarsa dan bekerjasama) dan Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi semangat dan dorongan). Ketiga ungkapan ini sebenarnya sangat membantu dalam pendidikan. Hanya saja, kita menganggap itu sedikit tidak penting.
Pola pendidikan sangat berpengaruh bagi personality sang anak. Demokratis atau Otoriter? Dalam hal ini, pendidik harus memahami karakteristik, style dan prosedur belajar anak didik. Selain menjadi tutor dan mentor, pendidik juga harus mampu menjadi sosok teman akrab bagi anak didik. Jangan menjadi sosok yang momok bagi anak didik, seperti yang terjadi di akhir Mei 2011 ini. Di SMAN Cijulang Jawa Barat terjadi kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap empat siswanya. Dengan ringan tangan, sang guru memukul keras keempat anak didiknya pada jam ia mengajar di kelas. Kejadian ini sengaja terekam dalam kamera handphone salah satu siswa di kelas tersebut. Begitukah cara membantu anak didik untuk mengenali jati diri dan membentuk kepribadian yang apik dalam dirinya?
Harus kita sadari bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan tidak dapat diukur dari angka IQ. Tetapi juga EQ. Bahkan, ternyata ada seseorang yang ber-IQ biasa mampu mencapai puncak keemasan. Itulah yang terjadi dalam diri sesosok tokoh masyhur di dunia, Thomas Alva Edison. Ia mengatakan bahwa Jenius adalah 1% ide hebat dan 99% kerja keras. Edison bukanlah sosok jenius yang mengetahui dan memahami banyak teori. Bahkan ia tidak mengetahui teori apapun. Ia juga tidak menguasai matematika. Bahkan ia dianggap bahwa otaknya terlalu kacau untuk belajar di sekolah, sehingga ia dikeluarkan dari sekolah dan kemudian dibimbing oleh ibunya sendiri. Sang Ibu mendidiknya untuk hidup mandiri, disiplin, bekerja keras dan bertanggung jawab. Sehingga, di usianya yang masih 10 tahun, ia memiliki laboratorium atas kerja keras sendiri dengan berjualan Koran. Begitu superiornya emosional sosok Edison, hingga ia dikenal oleh semua penghuni bumi ini dengan penemuannya yaitu Bola Lampu, yang sampai saat ini difungsikan sebagai penerang dunia.
Di Indonesia banyak manusia ber-IQ super. Tetapi, mengapa kualitas pendidikan di negeri kita tetap saja seperti ini alias statis? Itulah akibat diabaikannya EQ dan SQ. Seharusnya sikap integritas, bertanggungjawab, disiplin, mandiri, optimis, inisiatif, tangguh dan lain sebagainya (EQ) dilatih sejak dini dalam pendidikan. Selain itu, melatih dan mendidik anak didik untuk cerdas dalam mendayagunakan makna-makna, value dan kualitas spiritualnya (SQ). Tetapi kita harus optimis dan berbangga hati karena masih ada Jagoan Cilik yang menjadi inspirasi di Indonesia, seperti Fahma (13 tahun) dan Hania (6 tahun) yang menjadi juara lomba Software di tingkat internasional dan sang pencipta antivirus Arrtav yang sesuai dengan namanya Arrival (14 tahun) dan Taufik (17 tahun), yang masing-masing merupakan dua bersaudara. Mereka adalah orang-orang yang ber-EQ super.
Kita sebagai anak didik, calon pendidik dan utamanya bagi yang telah menjadi pendidik jangan sesekali lagi  mengabaikan EQ dan SQ. Jalankan pendidikan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ) secara simultan. Dengan begitu kita menjalankan pendidikan holistik (menyeluruh). Akal pikiran adalah sumber agamaku, berdzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan adalah perbendaharaanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku, kejujuran adalah perantaraku, hiburanku adalah sembahyang. Marilah kita serempak merealisasikan ucapan dari Rasulullah tersebut dalam kehidupan kita, termasuk dalam pendidikan.


[1] Ary Ginanjar. 2007. ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Jakarta: penerbit ARGA, hal 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar