PENDIDIKAN
SETENGAH MELEK
Oleh : Wildatus Sakinah
Semakin tua usia tanah air Indonesia,
pendidikan semakin mengalami keremang-remangan.
Sepertinya, tujuan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan hanyalah fiktif
belaka. Betapa tidak, makna pendidikan saja memudar tiada akhir. Dalam UU
Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan secara spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. UU Sisdiknas begitu perfect. Nampak jelas bahwa
mengembangkan Intelligence Quotient (IQ),
Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual
Quotient (SQ) merupakan tujuan dari pendidikan. Sayangnya, hal tersebut
“sedikit” diabaikan dalam pendidikan di negeri kita. Kita potong saja pasal-pasal yang mempersulit pendidikan, atau Kita
realisasikan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas itu yang mudah saja?
Tidak sedikit para pendidik kita,
baik di lembaga formal, informal maupun nonformal melambungkan rasa bangga atas
kejeniusan dan kesuperioran (IQ) yang dimiliki anak didik mereka, meski sang anak
didik tercerai dari EQ dan SQ. Hal ini merupakan salah satu penyakit kronis
yang sampai saat ini masih singgah dalam pendidikan kita dan akan siap membunuh
dan mematikan makna pendidikan.
Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal
(IQ), padahal diperlukan juga bagaimana mengembangkan kecerdasaan emosi (EQ),
seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan lain
sebagainya.[1]
Tetapi dalam Tripusat pendidikan
(lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat) di tanah air kita tetap saja mendewakan IQ yang dimiliki oleh the next generation. Asumsi bahwa IQ adalah number one masih berlaku sampai saat ini.
Keluarga
yang menjadi tokoh utama dalam sosialisasi pertama harus mampu menjadi panutan
dan motivator bagi anak untuk mengembangkan IQ, EQ dan SQ secara simultan. Tetapi,
lazimnya mereka telah merasa “cukup” atau bahkan “sangat” bangga atas prestasi
sang anak ketika mendapat nilai dan angka super
dalam raport di sekolahnya. Benarkah demikian?
Di
samping itu, sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal dan tempat sosialisasi
kedua bagi anak didik, juga mengalami penyakit kronis seperti yang terjadi
dalam lingkungan keluarga. Tidak sedikit guru yang patut “digugu dan ditiru”
membuang kepedulian terhadap emosional dan rpiritual sang anak didik. Mereka hanya dan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, dan mereka
akan merasa bangga atas dirinya ketika sang anak didik mampu mengembangkan ranah
kognitifnya (IQ) dengan pesat. Guru
adalah pengajar atau pendidik? mengajar dan mendidik menjadi tugas primer bagi
guru. Tetapi kebanyakan dari mereka dengan “sengaja
atau tidak sengaja” hanya mengajar (transfer ilmu pengetahuan) tanpa
mendidik. Mengapa mereka hanya melek
setengah mata?
Para
pendidik dalam tripusat pendidikan
harus mampu mendidik generasi penerus bangsa ini dengan tidak secara parsial (mengutamakan IQ), tetapi harus
secara holistik (menumbuhkembangkan
IQ, EQ dan SQ secara simultan). Jika mereka mendidik dengan cara setengah melek (mendidik secara parsial), maka output (anak didik) juga akan setengah melek. Selain itu, pendidik
juga harus mampu menjalankan prinsip yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan
Nasional kita, Ki Hajar Dewantara yaitu Ing
Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karso (jika di tengah membangun prakarsa dan
bekerjasama) dan Tut Wuri Handayani
(jika di belakang memberi semangat dan dorongan). Ketiga ungkapan ini
sebenarnya sangat membantu dalam pendidikan. Hanya saja, kita menganggap itu sedikit tidak penting.
Pola
pendidikan sangat berpengaruh bagi personality
sang anak. Demokratis atau Otoriter? Dalam hal ini, pendidik harus memahami
karakteristik, style dan prosedur
belajar anak didik. Selain menjadi tutor dan mentor, pendidik juga harus mampu
menjadi sosok teman akrab bagi anak didik. Jangan menjadi sosok yang momok bagi
anak didik, seperti yang terjadi di akhir Mei 2011 ini. Di SMAN Cijulang Jawa
Barat terjadi kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap empat siswanya. Dengan
ringan tangan, sang guru memukul keras keempat anak didiknya pada jam ia
mengajar di kelas. Kejadian ini sengaja
terekam dalam kamera handphone salah
satu siswa di kelas tersebut. Begitukah cara membantu anak didik untuk
mengenali jati diri dan membentuk kepribadian yang apik dalam dirinya?
Harus
kita sadari bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan tidak dapat diukur dari
angka IQ. Tetapi juga EQ. Bahkan,
ternyata ada seseorang yang ber-IQ biasa
mampu mencapai puncak keemasan. Itulah yang terjadi dalam diri sesosok tokoh masyhur
di dunia, Thomas Alva Edison. Ia mengatakan bahwa Jenius adalah 1% ide hebat dan 99% kerja keras. Edison bukanlah
sosok jenius yang mengetahui dan memahami banyak teori. Bahkan ia tidak
mengetahui teori apapun. Ia juga tidak menguasai matematika. Bahkan ia dianggap
bahwa otaknya terlalu kacau untuk belajar di sekolah, sehingga ia dikeluarkan
dari sekolah dan kemudian dibimbing oleh ibunya sendiri. Sang Ibu mendidiknya
untuk hidup mandiri, disiplin, bekerja keras dan bertanggung jawab. Sehingga,
di usianya yang masih 10 tahun, ia memiliki laboratorium atas kerja keras
sendiri dengan berjualan Koran. Begitu superiornya emosional sosok Edison, hingga ia dikenal oleh semua penghuni bumi
ini dengan penemuannya yaitu Bola Lampu,
yang sampai saat ini difungsikan sebagai penerang
dunia.
Di
Indonesia banyak manusia ber-IQ super. Tetapi, mengapa kualitas pendidikan di
negeri kita tetap saja seperti ini alias statis?
Itulah akibat diabaikannya EQ dan SQ. Seharusnya sikap integritas, bertanggungjawab,
disiplin, mandiri, optimis, inisiatif, tangguh dan lain sebagainya (EQ) dilatih
sejak dini dalam pendidikan. Selain itu, melatih dan mendidik anak didik untuk cerdas
dalam mendayagunakan makna-makna, value
dan kualitas spiritualnya (SQ). Tetapi kita harus optimis dan berbangga hati
karena masih ada Jagoan Cilik yang menjadi
inspirasi di Indonesia, seperti Fahma (13 tahun) dan Hania (6 tahun) yang
menjadi juara lomba Software di
tingkat internasional dan sang pencipta antivirus Arrtav yang sesuai dengan namanya Arrival (14 tahun) dan Taufik (17
tahun), yang masing-masing merupakan dua bersaudara. Mereka adalah orang-orang
yang ber-EQ super.
Kita
sebagai anak didik, calon pendidik dan utamanya bagi yang telah menjadi
pendidik jangan sesekali lagi mengabaikan EQ dan SQ. Jalankan pendidikan
intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ) secara simultan. Dengan begitu kita menjalankan pendidikan holistik (menyeluruh). Akal pikiran adalah sumber agamaku,
berdzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan adalah perbendaharaanku,
ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku,
menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku, kejujuran adalah
perantaraku, hiburanku adalah sembahyang. Marilah kita serempak merealisasikan
ucapan dari Rasulullah tersebut dalam kehidupan kita, termasuk dalam
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar