Rabu, 25 Januari 2012

UCAPAN Tuk RaBBQ...

ALLAH Ya Rabb... IzinkAn MaLaikaT MenjagAQ, KapaNPun DimanaPun, ImaNQ MONDAR-MANDIR... NAIK TURUN... BimbingLah Aq ke jalAN cahaya-MU yang NAn teranG BenderanG. JangaN BiarKan aQ beranjaK ke jaLan GELAP Nan menyESatkAN.......
Rabb... IzinkAn MaLaikaT MenjagAQ KapaNPun DimanaPun ImaNQ MONDAR-MANDIR... NAIK TURUN...

Minggu, 22 Januari 2012

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH DINIYAH PADA MASA REFORMASI

MAKALAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH DINIYAH PADA MASA REFORMASI Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Pendidikan Islam Yang diampu Oleh bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA Oleh: Syukron Siti Ifadah Wildatus Sakinah Tarbiyah/ Kependidikan Islam (KI) Kelas M SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER JANUARI, 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi. Era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia demokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan. Upaya untuk membangun suatu masyarakat, bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Era Reformasi dalam pemerintahan negara Indonesia memberikan angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, setelah sebelumnya pada masa orde baru program-program pendidikan yang ditargetkan telah gagal. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi Nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi partai. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Mencermati realitas sosial pendidikan Islam pada kisaran terakhir ini, tampaknya banyak perubahan pengembangan pada institusi pendidikan Islam. Untuk melakukan pengembangan itu antara lain dengan melakukan sebuah refleksi pemikiran yang eksploratif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti berupa penelitian, seminar, ceramah ilmiah, simposium, lokakarya dan lain sebagainya dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Salah satu hasil yang mengembirakan bagi tranformasi pendidikan Islam di zaman orde reformasi adalah hasil amandemen ke-4 pasal 31 UUD 1945 dan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas serta diberlakukannya PP. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dengan demikian eksistensi pendidikan Islam semakin diakui dalam tatanan pendidikan nasional. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah Madrasah Diniyah di Indonesia? 2. Bagaimana klasifikasi madrasah diniyah ? 3. Bagaimana dasar pemikiran kebijakan pendidikan Islam di Madarsah Diniyah pada masa reformasi? 4. Bagaimana kebijakan Pendidikan Islam di Madrasah Diniyah pada masa reformasi? 5. Bagaimana Civil Effect dari kebijakan pendidikan Islam di madarsah diniyah? 6. Bagaimana tantangan Madrasah Diniyah kedepan? BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Madrasah Diniyah Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth dan kawan-kawan menjelaskan bahwa masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam.. masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pengajaran. Madrasah tumbuh di Indonesia pada permulaan abad keduapuluh, pada masa merosotnya perkembangan sistem pendidikan madrasah di dunia islam, sementara itu dunia islam sendiri berinteraksi secara aktif dengan dunia barat dengan rasa sebagai negeri jajahan yang subordinate dank arena itu berkecendrungan meniru. Keadaan ini telah mendorong upaya perencanaan lembaga pendidikan baru model barat disatu pihak dan upaya reformasi terhadap sistem pendidikan islam yang ada di pihak lain. Terlepas dari perbedaan karakteristik diatas, madrasah yang pertama didirikan di Indonesia adalah sekolah Adabiah. Madrasah ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di padang, tapi kemudian pada tahun 1915 madrasah ini dirubah menjadi HIS Adabiah. Empat tahun sebelum sekolah adabiah didirikan, yaitu tahun 1905 sebenarnya di Surakarta telah didirikan madrasah manba’ul Ulum oleh Raden Hadipati sasro diningrat dan raden penghulu tafsirul anom, tetapi karena masih mengikuti sistem pendidikan pondok pesantren (tanpa kelas), madrasah tersebut tidak dikategorikan sebagai madrasah yang pertama didirikan di Indonesia. Baru pada tahun 1916, diterapkan sistem kelas pada madrasah tersebut yaitu I s.d kelas XI. B. Klasifikasi Madrasah Diniyah a. Pendidikan Diniyah Formal Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama islam pada jenjang pendidikan anak usia, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Selanjutnya, pada pasal 18 dalam 2 ayat diatur ketentuan tentang kurikulum pendidikan diniyah formal: (1) kuikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar dan (2) kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya. Sebagai institusi yang disetarakan, maka pemerintah menetapkan ujian nasional dalam 2 ayah pasal19, yakni: (1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukkan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmuyang bersumber dari ajaran islam dan (2) Ketentuan lebih lanjut lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan menteri agama dengan berpedoman kepada standar nasional pendidikan. Sedang program dan struktur kurikulum pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi diatur dalam 4 ayat ddalam pasal 20, yakni: (1) pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi dan profesi berbentuk universitas, institut atau sekolah tinggi, (2) kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia, (3) mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) dan (4) pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. b. Pendidikan Diniyah Nonformal. Pendidikan diniyah nonformal, dijalaskan secara detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25. Pada pasal 21 terdapat 3 ayat dijelaskan bentuk dan ijin operasionalnya, yakni: (1) pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Al-Qur’an, diniyah takmiliyah atau bentuk lain yang sejenis, (2) pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan, (3) pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor departemen agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan. Pada pasal 22 menjelaskan tentang pengajian kitab di jelaskan dalam 3 ayat: (1) pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran islam dan /atau menjadi ahli ilmu agama islam, (2) penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang, dan (3) pengajian kitab dilaksanakan dipondok pesantren, masjid, mushalla atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pasal 23 menjelaskan tentang nama, kurikulum dan tempat penyelenggaraan majelis taklim: (1) majelis taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta, (2) kurikulum majelis aklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia dan (3) majelis taklim dilaksanakan dimasjid, mushalla atau tempat lain yang memenuhi syarat. Dalam pasal 24, dijelaskan tentang pendidikan Al-Qur’an dalam 6 ayat: (1) pendidikan Al-Qur’an bertujuan menngkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, mamahami dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an. (2) pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis, (3) pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang, (4) penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla dan ditempat lain yang memenuhi syarat, (5) kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, tajwid serta menghafal doa-doa utama dan (6) pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qu’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Quran. Selanjutnya, 5 ayat pada pasal 25 menjelaskan ketentuan tentang diniyah takmiliyah: (1) diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT, (2) penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang, (3) penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla atau di tempat lain yang memenuhi syarat, (4) penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara dan (5) penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi. C. Dasar Pemikiran Dalam sejarah, madrasah lahir dari rahim pondok pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintah kolonial, madrasah menjadi salah satu obyek yang terus diselidiki. Pada masa itu, hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu merubah sistem pendidikan Indonesia kearah sistem pendidikan “ modern”, namun hal tersebut tidak mampu merubah madrasah sebagai fenomena budaya pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan madrasah sampai sekarang,yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena tersebut patut direnungkan bersama, bahwa keberadaan pendidikan agama adalah suatu yang menjadi identitas kependidikan bangsa. Namun demikian, seiring dengan laju perkembangan zaman, madrasahpun tak mungkin lagi menghindar dari tantangan. Dunia industri yang telah merubah tuntutan kebutuhan masyarakat akan dunia pendidikan, mau tidak mau memaksa para praktisi pendidikan madrasah untuk merumuskan ulang tentang konsep pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Ditambah lagi munculnya model-model pendidikan baru, yang mau tidak mau menjadi pesaing yang cukup berat bagi madrasah. Hanya terpaku pada sistem lama, pelan tapi pasti madrasah akan kehilangan peminat. Pada titik ini sudah semestinya para praktisi harus membuat perumusan ulang, untuk lebih menonjolkan kekhasan madrasah diniyah dari model pendidikan lain. Alasan inilah yang mendasari pemikiran untuk merumuskan format ideal kurikulum madrasah diniyah dalam perspektif sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan madrasah diniyah seiring dengan perkembangan dan tuntutan sistem perundang-undangan, yakni : UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ,dan PP No. 55Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Disahkan dan diundangkannya ketiga ketentuan tersebut sungguh telah menjadi madrasah diniyah harus segera melakukan reformulasi, dalam banyak hal, khususnya kurikulum. D. Substansi Kebijakan Madrasah Diniyah Pada masa reformasi, eksistensi madrasah diniyah diakui dan menyemai eksistensi memburu sertifikasi kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kebijakan madrasah diniyah pada masa reformasi adalah tentang Pendidikan Agama (PA) dan pendidikan Keagamaan (PK), lihat PP No. 55 tahun 2007. Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30 yang terdiri dari (5) ayat dan pasal 36 dan 37 yang mengatur kurikulum. Pada pasal 30 dinyatakan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/ atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pada pasal 36 yang mengatur kurikulum, ditetapkan sebagai berikut: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. a. Kurikulum Madrasah Diniyah Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan operasional yang standar untuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan, termasuk madrasah Diniyah. Ruang lingkup SNP meliputi : Standar Isi, Proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. b. Kurikulum Madrasah Diniyah Berdasarkan PP Pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan Sebagai acuan opersional penyelenggaraan madrasah diniyah, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PP PA dan PK) yang disahkan 5 oktober 2007. Ketentuan tentang Madrasah diniyah dalam PP PA dan PK pasal 14 sampai pasal 20 adalah sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan Diniyah dan pesantren (2) Pendidikan diniyah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal Pasal 15 Pendidikan diniyah Formal menyelenggarakan pendidikan pada ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 16 (1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri dari 3 tingkat (2)Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 tingkat (3)Penanaman satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan Pasal 17 (1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik di madrasah diniyah pendidikan dasar, seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun (2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka pendidikan yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar (3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik madrasah diniyah pendidikan menengah pertama, seorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat (4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik madrasah diniyah pendidikan menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat. Pasal 18 (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar (2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan seni dan budaya. Pasal 19 (1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam (2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan menteri agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan Pasal 20 (1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokas, dan profesi berbentuk universitas, institute dan sekolah tinggi (2) Perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan ilmu pembelajaran agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia (3) Mata kuliah dala program studi memiliki program wajib belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) (4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. E. CIVIL EFFECT LULUSAN MADRASAH DINIYAH Desain kurikulum institusi pendidikan , apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan yang dikelola akan memiliki civil effect. Bagi lulusan. Kurikulum madrasah diniyah, jika merujuk pada ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan juga memiliki civil effect, secara strategis sedikitnya ada dua civil effect yang dapat diraih oleh para lulusan madrasah diniyah, yakni dalam masalah kelanjutan studi dan dalam masalah lapangan kerja. 1. Civil Effect Tentang Kelanjutan Studi Civil effect tentang kelanjutan studi. Sebelum diundangkannya tiga ketentuan itu para lulusan madrasah sangat terbatas kelanjutan studinya. Lulusan Madrasah Diniyah Ula ( MDU) hanya bisa diterima di Madrasah Diniyah Wustha (MDW), dan lulusan MDW hanya bisa diterima di Madrasah Diniyah Ulya (MD’U), dan sebagian MD’U yang disetarakan bisa melanjutkan ke Ma’had Aly / UIN/IAIN/ STAIN/ PTAIS. Setelah diberlakukan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan para lulusan madrasah Diniyah tidak lagi terbatas untuk melanjutkan studi hanya di perguruan agama, tetapi sekaligus diperguruan umum. Artinya lulusan MDU bisa melanjutkan ke MDW/ MTs/SMP dan yang sederajat. Lulusan MDW bisa melanjutkan ke MD’U / MA/ SMA/SMK dan yang sederajat. Selanjutnya, lulusan MD’U bisa melanjutkan Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN/IAIN/STAIN/PTAIS dan perguruan Tinggi umum negeri dan swasta. Namun demikian, jelas bahwa ini berimplikasi terhadap semangat pendalam santri tentang pengetahuan keagamaan substantif yang telah mentradisi dari waktu ke waktu, karena santri tidak lagi hanya terkonsentrasi belajar agama, tetapi juga dituntut belajar materi pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, fisika, dan sebagainya sebagai syarat mengikuti penyetaraan, sehingga konsentrasi santri pada satu sisi meluas, tetapi pada saat yang sama orientasi santri secara keilmuan menjadi terpecah. 2. Civil Effect Tentang Peluang Kerja Lulusan Sebelum diberlakukannya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan , dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan para lulusan madrasah diniyah tidak memiliki kesempatan peluang kerja, namun bagi madrasah diniyah yang disetarakan mempunyai kesempatan lapangan kerja yang terbatas, sesuai dengan pandangan orang tua memasukkan anaknya ke madrasah agar mereka memperoleh ilmu-ilmu agama, dan disinari jiwanya dengan agama tanpa mengkaitkannya dengan lapangan kerja untuk hidup di masyarakat. Pandangan yang sedemikian akhir-akhir ini bergeser, di mana orang tua memasukkan anaknya ke madrasah, di samping agar anak-anak mereka memperoleh ilmu. F. Madrasah Diniyah Dan Tantangan Masa Depan Madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asatidz dan lain sebagainya. Diundangkannya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan secara khusus adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi madrasah diniyah. Peluangnya, karena PP 55 Tahun 2007 khususnya telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah, madrasah diniyah dan pendidikan pesantren. Sedangkan tantangannya adalah bagaimana para pengasuh pondok pesantren dan madrasah diniyah secara arif merespon pemberlakuan PP 55 Tahun 2007 tersebut. Standarisasi pendidikan madrasah diniyah jelas merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Namun demikian, apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan madrasah diniyah yang akan diberlakukan harus tetap memperhatikan tiga pilar utama, yaitu: 1. Pilar Filosofis Adalah pilar yang harus dijadikan pijakan bahwa madrasah diniyah adalah fardhu ‘ain untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fiddiin melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita dan simpul keagungan dari pondok pesantren. 2. Pilar Sosiologis Adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniyah tidak berada dalam ruang kosong (vacuum space), tetapi ia bagian dari system sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalam agar eksistensi madrasah diniyah tidak sekedar sebagai pelengkap (supplement), tetapi diharapkan menjadi pilihan utama masyarakat. 3. Pilar Yuridis Merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya, jenis, bentuk dan jenjang pendidikan apapun harus menyesuaikan dengan regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang pendidikan. PP 55 Tahun 2007 jelas merupakan salah satu pijakan yuridis yang mengatur tentang posisi dan eksistensi madrasah diniyah, pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Di masa depan pengelolaan dan pelaksanaan untuk memberdayakan madrasah diniyah perlu mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut: 1. Membentuk badan hokum pendidikan berbentuk “Yayasan pendidikan madrasah diniyah” atau apapun namanya yang terdaftar di “notaris” 2. Menyusun jenjang pendidikan/satuan pendidikan, seperti: (1) madrasah diniyah ula, (2) madrasah diniyah wustha dan (3) madrasah diniyah ‘ulya. 3. Secara bertahap, menyiapkan tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualifikasi minimal diploma empat (D IV) atau strata satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata pelajaran yang diampunya/diajarkan. 4. Berupaya menerapkan kurikulum madrasah diniyah yang standar (dan sesuai ketentuan) secara bertahap dan berkesinambungan. 5. Pengelolaan madrasah diniyah harus intens melakukan kajian (evaluasi diri), khususnya tentang kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluangnya karena dengan melakukan itu kita akan mudah mengembangkan strategi untuk memberdayakan madrasah diniyah. BAB III PENUTUP Kesimpulan Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Sedangkan masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam dan masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pengajaran. Madrasah Klasifikasi Madrasah Diniyah ada dua (2) yaitu: 1). Madrasah Diniyah dalam bentuk pendidikan Formal seperti pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat, pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat serta pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat dan 2). Madrasah Diniyah dalam bentuk pendidikan Non-Formal/Informal seperti: pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Al-Qur’an dan diniyah takmiliyah. Terkait dengan kurikulum Madrasah Diniyah, dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30 yang terdiri dari (5) ayat dan pasal 36 dan 37 yang mengatur kurikulumnya. Civil effect lulusan madrasah diniyah ada 2, yaitu Civil Effect Tentang Kelanjutan Studi dan Civil Effect Tentang Peluang Kerja Lulusan. Madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asatidz dan lain sebagainya. Diundangkannya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan secara khusus adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. DAFTAR PUSTAKA Soebahar, Abd. Halim. 2009. Pendidikan Islam Dan Trend Masa Depan. Jember : Pena Salsabila , Abd. Halim. 2009. Matrik Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Himpunan Peraturan Perundang-undangan. 2009. Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fokusmedia.

Selasa, 10 Januari 2012

PENDIDIKAN HOLISTIK


PENDIDIKAN SETENGAH MELEK
Oleh : Wildatus Sakinah
            Semakin tua usia tanah air Indonesia, pendidikan semakin mengalami keremang-remangan. Sepertinya, tujuan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan hanyalah fiktif belaka. Betapa tidak, makna pendidikan saja memudar tiada akhir. Dalam UU Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan secara spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. UU Sisdiknas begitu perfect. Nampak jelas bahwa mengembangkan Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) merupakan tujuan dari pendidikan. Sayangnya, hal tersebut “sedikit” diabaikan dalam pendidikan di negeri kita. Kita potong saja pasal-pasal yang mempersulit pendidikan, atau Kita realisasikan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas itu yang mudah saja?
            Tidak sedikit para pendidik kita, baik di lembaga formal, informal maupun nonformal melambungkan rasa bangga atas kejeniusan dan kesuperioran (IQ) yang dimiliki anak didik mereka, meski sang anak didik tercerai dari EQ dan SQ. Hal ini merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat ini masih singgah dalam pendidikan kita dan akan siap membunuh dan mematikan makna pendidikan.
            Kebanyakan  program  pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan juga bagaimana mengembangkan kecerdasaan emosi (EQ), seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan lain sebagainya.[1] Tetapi dalam Tripusat pendidikan (lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat) di tanah air kita tetap saja mendewakan IQ yang dimiliki oleh the next generation. Asumsi bahwa IQ adalah number one masih berlaku sampai saat ini.
Keluarga yang menjadi tokoh utama dalam sosialisasi pertama harus mampu menjadi panutan dan motivator bagi anak untuk mengembangkan IQ, EQ dan SQ secara simultan. Tetapi, lazimnya mereka telah merasa “cukup” atau bahkan “sangat” bangga atas prestasi sang anak ketika mendapat nilai dan angka super dalam raport di sekolahnya. Benarkah demikian?
Di samping itu, sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal dan tempat sosialisasi kedua bagi anak didik, juga mengalami penyakit kronis seperti yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Tidak sedikit guru yang patut “digugu dan ditiru” membuang kepedulian terhadap emosional dan rpiritual sang anak didik. Mereka hanya dan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, dan mereka akan merasa bangga atas dirinya ketika sang anak didik mampu mengembangkan ranah kognitifnya (IQ) dengan pesat. Guru adalah pengajar atau pendidik? mengajar dan mendidik menjadi tugas primer bagi guru. Tetapi kebanyakan dari mereka dengan “sengaja atau tidak sengaja” hanya mengajar (transfer ilmu pengetahuan) tanpa mendidik. Mengapa mereka hanya melek setengah mata?
Para pendidik dalam tripusat pendidikan harus mampu mendidik generasi penerus bangsa ini dengan tidak secara parsial (mengutamakan IQ), tetapi harus secara holistik (menumbuhkembangkan IQ, EQ dan SQ secara simultan). Jika mereka mendidik dengan cara setengah melek (mendidik secara parsial), maka output (anak didik) juga akan setengah melek. Selain itu, pendidik juga harus mampu menjalankan prinsip yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karso (jika di tengah membangun prakarsa dan bekerjasama) dan Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi semangat dan dorongan). Ketiga ungkapan ini sebenarnya sangat membantu dalam pendidikan. Hanya saja, kita menganggap itu sedikit tidak penting.
Pola pendidikan sangat berpengaruh bagi personality sang anak. Demokratis atau Otoriter? Dalam hal ini, pendidik harus memahami karakteristik, style dan prosedur belajar anak didik. Selain menjadi tutor dan mentor, pendidik juga harus mampu menjadi sosok teman akrab bagi anak didik. Jangan menjadi sosok yang momok bagi anak didik, seperti yang terjadi di akhir Mei 2011 ini. Di SMAN Cijulang Jawa Barat terjadi kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap empat siswanya. Dengan ringan tangan, sang guru memukul keras keempat anak didiknya pada jam ia mengajar di kelas. Kejadian ini sengaja terekam dalam kamera handphone salah satu siswa di kelas tersebut. Begitukah cara membantu anak didik untuk mengenali jati diri dan membentuk kepribadian yang apik dalam dirinya?
Harus kita sadari bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan tidak dapat diukur dari angka IQ. Tetapi juga EQ. Bahkan, ternyata ada seseorang yang ber-IQ biasa mampu mencapai puncak keemasan. Itulah yang terjadi dalam diri sesosok tokoh masyhur di dunia, Thomas Alva Edison. Ia mengatakan bahwa Jenius adalah 1% ide hebat dan 99% kerja keras. Edison bukanlah sosok jenius yang mengetahui dan memahami banyak teori. Bahkan ia tidak mengetahui teori apapun. Ia juga tidak menguasai matematika. Bahkan ia dianggap bahwa otaknya terlalu kacau untuk belajar di sekolah, sehingga ia dikeluarkan dari sekolah dan kemudian dibimbing oleh ibunya sendiri. Sang Ibu mendidiknya untuk hidup mandiri, disiplin, bekerja keras dan bertanggung jawab. Sehingga, di usianya yang masih 10 tahun, ia memiliki laboratorium atas kerja keras sendiri dengan berjualan Koran. Begitu superiornya emosional sosok Edison, hingga ia dikenal oleh semua penghuni bumi ini dengan penemuannya yaitu Bola Lampu, yang sampai saat ini difungsikan sebagai penerang dunia.
Di Indonesia banyak manusia ber-IQ super. Tetapi, mengapa kualitas pendidikan di negeri kita tetap saja seperti ini alias statis? Itulah akibat diabaikannya EQ dan SQ. Seharusnya sikap integritas, bertanggungjawab, disiplin, mandiri, optimis, inisiatif, tangguh dan lain sebagainya (EQ) dilatih sejak dini dalam pendidikan. Selain itu, melatih dan mendidik anak didik untuk cerdas dalam mendayagunakan makna-makna, value dan kualitas spiritualnya (SQ). Tetapi kita harus optimis dan berbangga hati karena masih ada Jagoan Cilik yang menjadi inspirasi di Indonesia, seperti Fahma (13 tahun) dan Hania (6 tahun) yang menjadi juara lomba Software di tingkat internasional dan sang pencipta antivirus Arrtav yang sesuai dengan namanya Arrival (14 tahun) dan Taufik (17 tahun), yang masing-masing merupakan dua bersaudara. Mereka adalah orang-orang yang ber-EQ super.
Kita sebagai anak didik, calon pendidik dan utamanya bagi yang telah menjadi pendidik jangan sesekali lagi  mengabaikan EQ dan SQ. Jalankan pendidikan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ) secara simultan. Dengan begitu kita menjalankan pendidikan holistik (menyeluruh). Akal pikiran adalah sumber agamaku, berdzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan adalah perbendaharaanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku, kejujuran adalah perantaraku, hiburanku adalah sembahyang. Marilah kita serempak merealisasikan ucapan dari Rasulullah tersebut dalam kehidupan kita, termasuk dalam pendidikan.


[1] Ary Ginanjar. 2007. ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Jakarta: penerbit ARGA, hal 41

SenyUm SemangAT

Saat ini...
Sosok motivatorku terbaring sakit
senyum seolah memudar
semangat seolah musnah
Ibu..........
cepat sembuh ya..
putrimu menunggu.
terimakasih, karena SAKITmu tetap memotivasiku tuk senyum semangat.
I LOVE U so MuaaaaaCCCHHH.......